Kumpulan Puisi Tema Marsinah
Marsinah siapa dia? Namanya selalu disebut dalam sebuah karya puisi, teater, film, berita dan diskusi yang menuntut keadilan. Dia seorang wanita bukan seorang politisi, artist, bukan juga seorang sastrawan.
Ia hanya seorang Buruh wanita yang bekerja di Perusahaan tempat ia bekerja, ia tinggal di Sidoarjo Jawatimur yang menyuarakan Keadilan dimana ia bekerja. Dan menjadi korban dari kekejaman Masa Orde Baru.
Berikut dibawah ini adalah 3 Puisi yang dibuat berdasarkan ingatan dan hayalan yang tercipta dari Marsinah.
Marjinal – Marsinah
Kulihat
Buruh perempuan
Berkeringat
Membasahi bumi
Yang gelap
Energi yang kau curahkan
Begitu besar tlah kurasakan
Terhanyut dalam kesombongan terlupakan
Gemerlap cahayamu
Membentangi garis kehidupan
Ada lara rintih caci maki
Kau hadapi
Keringat dan ketegaranmu
Mengalir deras tak ternilai
Hanya tetes darah dan air mata
Yang kau curah
Ooo Marsinah
Kau termarjinalkan
Ooo Marsinah
Matimu tak sia sia
Marsinah
Oleh: Linda Christanty
Aku tidak tahu bagaimana menari dan memainkan gitar dengan benar
Jari-jariku ini terasa kasar karena bekerja
Dan lagu yang kudengar adalah perintah dan bising mesin setiap hari
Tak bisa mengiringi aku menari
Aku tidak sendirian tapi kami tak boleh bicara
Tentang upah yang rendah, kontrakan yang pengap
Dan mengapa kami tak pernah bisa membeli
Baju atau sepatu yang kami buat sendiri
Kami tak boleh menjadi teman
meski bersama-sama setiap hari
Suatu hari kami mulai bicara dan berteman
Dan aku benar-benar tidak sendirian
Kami menamai hari baru yang tak ada dalam kalender: pemogokan
Hari itu juga beberapa temanku tak pulang kerumah,
Orang-orang berseragam membawa mereka pergi
Aku mencari mereka dan akhirnya tak pernah pulang
Tapi jangan mengenang hari ini dengan sedih
Nyanyikan lagu gembira berirama cepat
Dan mengajak semua orang menari
Biar keringat kita yang menetes hari ini
Terbit dari rasa kebebasan
Karena keringat kita setiap hari mengalir dipabrik-pabrik
Dalam perintah dan bising mesin
#jakarta, 6 mei 2010
Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi,
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan hati-hati.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
meminta kefanaan
yang abadi;
"kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi."
Marsinah, kita tahu, tidak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap kemana-mana.
"Ia suka berpikir", kata Siapa,
"itu sangat berbahaya."
Marsinah tidak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
"Ia tahu hakikat waktu," kata Siapa,
"dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu."
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lengking detiknya
tidak terdengar lagi.
Ia tidak diberi air;
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli
meregang waktu bersaksi;
Marsinah diseret
dan dicampakkan -
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
"Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
kedunia lagi;
jangan saya dikirim ke neraka itu lagi."
Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.
Sengsara betul hidup disana,
jika suka berpikir,
jika suka memasak kata;
"apa sebaiknya kita menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?"
Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.
"Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana."
Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
disetiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.
#(1993-1996)
Sapardi Djoko Pramono
0 Komentar